Saturday , 27 April 2024
Home 4 Motivation of The Day 4 Mengolok-olok Diri Sendiri

Mengolok-olok Diri Sendiri

Ketika hampir semua orang di negeri ini agaknya tidak berani mengolok-olok kejelekan dan kebodohan dirinya sendiri, Riyanto alias Tukul Arwana melakukannya di hadapan publik.

“Saya bukan peneliti ahli dan faham menggunakan teori yang rumit untuk membedah suatu fenomena. Namun yang jelas, saya yakin Tukul bisa menjadi sangat populer karena dialah satu-satunya host (pembawa acara) yang berani `mengatai` dirinya sendiri tanpa takut kehilangan jati dirinya ketika orang tahu banyak `kekurangan` yang dimilikinya,” demikian sepenggal pendapat di “mailing list” Internet (milis) yang mendiskusikan pro dan kontra “Tukulisme”.


Pendapat tersebut memang tidak mewakili sebagian besar dari mereka yang pro-“Tukulisme”, sikap hidup yang berani mengolok-olok dirinya sendiri, seperti yang dipertontonkan Tukul melalui tayangan “Empat Mata” di stasiun televisi swasta Trans-7.

Tetapi, setidaknya dari komentar di milis tersebut, siapapun yang rajin menonton tayangan setiap Senin hingga Jumat malam itu akan punya penilaian sama bahwa Tukul adalah pembaharu “mengolok-olok diri sendiri”

“Dari Tukul, saya bangsa ini belajar mengakui keadaan diri sendiri seperti apa adanya. Sebuah keberanian yang saya kira tidak dimiliki banyak orang. Sekarang orang dengan santai `mengatai` dirinya sendiri dan tidak tersinggung kalau ada teman yang balik melontarkan (olokan),” demikian lanjutan dari pendapat di milis yang mendiskusikan Tukulisme.

Masih menurut dia, Tukul lebih sering melontarkan kata makian untuk dirinya sendiri, baru kemudian dilontarkan ke orang lain dalam konteks bercanda dan humor.

“Ini salah satu kelebihan dari Tukul dalam tayangan tersebut,” katanya.

Pendapat lain yang mengemuka di milis itu mengatakan setuju dengan tulisan Garin Nugroho di Kompas bahwa Tukul menghadirkan “warung kopi” di Trans7. Makian pertanda kedekatan ala Tukul hanya bisa terlontar di pergaulan ala warung kopi, tempat katarsis psikososial, dan ini bukan sebuah pembodohan.

Orang seperti Tukul, yang bisa menghadirkan katarsis psikososial adalah orang yang cerdas.

Sementara itu, Prof Sunyoto Usman PhD, akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berpendapat “demam Tukul” yang terjadi saat ini tidak akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.

“Acara yang dibawakan Tukul sebenarnya hanya sebuah hiburan yang dikomersialkan oleh pebisnis televisi,” kata pakar sosial-politik ini.

Menurut dia, dunia hiburan seperti halnya “Empat Mata” memang dihadirkan untuk mengikuti selera pasar. Pasar sendiri menghendaki hiburan yang gampang dicerna, instan, dan tidak memerlukan interpretasi untuk mengetahui maksudnya.

Lawakan yang dilontarkan Tukul memang gampang dicerna, tidak seperti lawakan lain, misalnya Bagio Cs di masa lalu, atau ludruk yang bagi pendengar umum perlu `mikir` untuk mengetahui pesan yang akan disampaikan.

Mengomentari tentang aksi “mengolok-olok” yang menjadi ciri tayangan tersebut, Sunyoto Usman mengatakan, hal itu hanya merupakan cara untuk menghadirkan kesan lucu. Bahkan lontaran kata-kata “Puas…puas!!!” dari Tukul setiap selesai diolok-olok, bukan suatu ungkapan menghina.

Dalam dunia lawak memang seperti itu. Jika tampil dengan format kuartet, trio maupun duet, biasanya salah satu akan dikorbankan untuk menjadi bahan olok-olokkan.

Dalam tayangan tersebut Tukul tampil bersama bintang tamu, sehingga yang menjadi bahan ejekan adalah bintang tamu atau dirinya sendiri.

Mengenai kontribusi lawakan Tukul ini bagi pendidikan, dia mengatakan tidak ada kontribusi signifikan bagi pendidikan masyarakat, karena ini sekedar seni massal yang tujuannya menghibur semua lapisan.

“Lawakan semacam ini mudah dicerna dan akan membuat penonton tertawa sejenak,” katanya.

Menurut dia, inilah bukti kehebatan para pemilik modal untuk mengeksploitasi sesuatu guna memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Ketenaran sosok Tukul merupakan sesuatu yang “unpredictable” dari seseorang yang dianggap remeh menjadi seseorang yang terkenal. Suatu saat nanti masyarakat akan jenuh sendiri, kemudian diganti sosok lain.

Tukul sendiri, kata Sunyoto, memiliki kekuatan melakukan dekonstruksi yang hebat. Artinya, bintang tamu yang identik dengan sesuatu yang glamour, cakep, dan “untouchable” dijadikannya sebagai seseorang yang biasa saja.

Sedangkan televisi sendiri, menurut dia, memiliki kemampuan melakukan dekonstruksi pemirsa bahwa “host” tidak harus cakep dan pintar.

Sementara itu, psikolog sosial Sartono Mukadis menyebut Tukul sebagai pelawak jenius, karena dapat berpikir secara cepat (“quick thinking”).

Kemudian jurubicara kepresidenan Andi Mallarangeng memuji acara yang dibawakan Tukul sebagai lawakan yang menghibur, segar, santai dan cerdas.

Secara terpisah, Paulus Mujiran dalam tulisannya berjudul “Pendidikan Anti Tukulisme” di harian Media Indonesia mengajak untuk merefleksikan satu jenis talkshow yang saat ini menyedot perhatian pemirsa televisi.

Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini, sehingga masyarakat begitu menggemari acara olok-olokkan, lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik Tukul Arwana.

Ia menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul itu sebagai Tukulisme.

Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya.

Olok-olokkan seperti “wong ndeso”, katro, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya “kekerasan psikologis” terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah itu.

Dari sudut pandang pendidikan apapun, baik keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokkan dan tertawaan itu di tengah masyarakat, demikian Mujiran.

Check Also

The Beginner’s Guide to

Ways of Finding the Best Landscaping Contractor Residential and commercial spaces are special to various people in different ways and mostly the owners. Everybody wants their place to look good and to represent what they like. Indoor décor and aesthetics have been insisted on quite a lot in the past, that the outdoor space have …

– Getting Started & Next Steps

ûWhat to look for when choosing a french coconut pie baker It’s your right to …

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.